22 November 2008

Menghargai Pahlawan

baru kemaren rasanya kita mempengeringati hari pahlawan indonesia.
ada artikel bagus mengenai kepahlawanan di Kotasantri.com

Menghargai jasa pahlawan bukan cuma bisa dilafalkan di mulut atau hanya berbentuk seremonial belaka dengan mengheningkan cipta pada upacara bendera. Menghargai jasa para pahlawan adalah pertama mula meluruskan sejarah bangsa yang banyak dibelokkan demi kepentingan golongan tertentu saja, utamanya sih yang sedang berkuasa pada saat sejarah ditulis. Sudah saatnya kebohongan kepada publik mulai dibongkar dan kebenaran ditunjukkan ujud nyatanya.

Bung Tomo dengan suaranya yang menggelegar dan menggugah semangat berjuang arek Suroboyo, tidak semata-mata melakukan itu semua demi membela bangsa dan negara saja. Lebih dari itu, mengusir penjajah dari bumi tempatnya berpijak adalah sebuah kewajiban dan kesadarannya dalam beraqidah Islam. Jika bukan karena dorongan Islam, mengapa pula Bung Tomo bersusah-payah memekikkan takbir sebelum menyerang musuh? Tul nggak?

Pahlawan yang lain demikian pula. Mulai dari nama-nama sekaliber Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, Teuku Cik Ditiro, Cut Nyak Dien, Pattimura, Sultan Hasanuddin, Fatahillah, dll, berjuang melawan penjajah bukan semata-mata membela bangsa dan negara. Sejatinya, Islam adalah motivator utama ketika aqidah dan syari'ah yang saat itu menjadi peraturan kesultanan-kesultanan Islam di nusantara, diinjak-injak oleh para imperialis Belanda dan 'balad korawanya' macam Portugis dan Inggris. Hal inilah yang seringkali disembunyikan dari kita, seolah-olah kesan yang ditimbulkan adalah para pahlawan itu sangat nasionalis sekali perjuangannya. Nggak banget deh!

Pada faktanya, para pahlawan itu tak mengenal istilah nasionalisme ketika itu. Mereka berjuang lantaran dorongan aqidah Islam karena penjajah mulai menginjak-injak harga diri mereka sebagai manusia. Parahnya lagi, para penjajah juga bertugas sebagai misionaris dan berusaha memurtadkan penduduk nusantara yang notabene muslim untuk menjadi Kristen. Jadi, sudah saatnya jalannya sejarah yang nggak bener itu untuk kembali diluruskan. Agar jasa para pahlawan itu akan terlihat jelas, sehingga generasi muda mampu menghargainya dengan bingkai sejarah kejujuran.

Langkah kedua, untuk menghargai jasa para pahlawan adalah menjalankan roda pemerintahan negeri ini dengan baik dan benar. Baik artinya adalah dikelola oleh mereka yang memang orang baik di bidangnya. Bukan hanya profesional, namun juga berakhlak mulia, sehingga jauh dari niat dan tindakan korupsi atau pun hal-hal yang merugikan rakyat. Benar artinya adalah negeri ini dikelola dengan aturan yang benar. Aturan yang benar ini sudah diberikan panduannya oleh Yang Maha Memiliki Kebenaran berupa syari'at Islam dalam segenap aspek kehidupan, bukan cuma kalo mati dan kawinan saja Islam baru dipake.

Langkah selanjutnya adalah menjadikan sejarah itu sebagai cermin untuk melangkah ke depan. Sejarah kelam jangan ditutupi, namun jadikan pembelajaran agar jangan terulang. Misal sejarah kelam dihapuskannya kalimat "dengan menjalankan syari'at Islam bagi pemeluknya" dari sila pertama Pancasila. Lalu sejarah kelam Tanjung Priok 1984, yaitu dibunuhnya para ulama yang menolak azas tunggal oleh rezim orde baru. Nggak perlu deh ditutup-tutupi lagi karena toh yang namanya bangkai pasti akan tercium juga. Betul ndak?

Hal yang sama berlaku juga dalam sejarah emas Indonesia, yaitu berani meluruskan bengkoknya sejarah kebangkitan nasional. Budi Utomo yang jelas-jelas menolak persatuan Indonesia dan menolak pemakaian bahasa Indonesia karena para pimpinannya lebih memilih bahasa Jawa dan Belanda, tidak lagi pantas dijadikan tonggak kebangkitan nasional. Syarikat Islam (SI)-lah yang pertama kali menyadarkan pentingnya persatuan nasional melalui Kongres Nasional Central SI di Bandung. Bila pemerintah berani mengambil langkah kejujuran ini, maka so pasti generasi muda kita nggak akan pernah hidup lagi dalam kebohongan sejarah, insya Allah.

***

Jadilah Pahlawan, Bukan Pengkhianat

Yup, jangan jadi pengkhianat, karena tempat yang pantas buat mereka cuma di neraka. Ih, takut banget kan? Pahlawan bukan cuma sebatas skala nasional, tapi jadilah pahlawan yang lintas batas sebuah bangsa yang sempit. Pahlawan internasional dengan Islam saja yang layak mendapat pengorbanan kita, bukan nusa dan bangsa dalam bingkai nasionalisme. Bila Islam yang kita bela, sudah tentu nusa dan bangsa termasuk di dalamnya. Tapi bila membela nusa dan bangsa, belum tentu kita masuk surga karena sungguh Rasulullah melarang kita untuk terpecah-pecah karena kesukuan dan kebangsaan.

Muslim di Malaysia, China, Amerika, Arab, Inggris, Palestina, di mana pun mereka berada, mereka adalah saudara kita. Jangan sampai kita menjadi pahlawan bangsa dengan membunuh saudara seiman, na'udzhubillah. Jadi tak ada gunanya bertengkar karena hal sepele dengan negara tetangga seperti masalah perbatasan atau kesenian. Musuh sebenarnya kita adalah kapitalisme yang diemban oleh Amerika dan sekutunya untuk dipaksakan pada kita. Bila kita lengah dan menjadi pengikutnya, maka sungguh kita telah menjadi pengkhianat sejati. Pengkhianat bagi negeri, rakyat sendiri, hati nurani, dan tentunya mengkhianati Islam. Semua ada di tangan kita untuk memilih, akan menjadi pahlawan ataukah pengkhianat? Dan semua perbuatan sudah pasti akan ada pertanggungjawaban masing-masing.

So, tancapkan dalam hatimu bahwa kita adalah generasi baru yang akan menghargai jasa pahlawan tidak sebatas simbol saja, tapi dalam tataran nyata dengan Islam saja sebagai pedoman hidup bernegara bagi seluruh kaum muslimin. Bagaimana, setuju kan? Harus itu! [gaulislam-055/2/101108]